Aku
Rieko. Hidup di perkampungan kecil di sudut kota. Kalian tahu ? Hari-hariku
diisi dengan bermusik di tempat tongkrongan. Pamer kebolehan dalam bermusik. Di
sekolah pun, kalau kalian mau tahu, aku terkenal karena kemahiran gitarku dalam
segala aliran musik.
Tapi
kalau di rumah, aku merasa dicekam. Bermain musik bagi keluargaku adalah sebuah
pantangan. Apa salahnya padahal ?. Ibuku selalu bilang masalah “melenakan”,
“melalaikan”, atau apalah sejenisnya. Timbulnya, aku jadi selalu malas di
rumah. Jelas-jelas hobiku bermusik, tapi di rumah aku tak bisa kembangkan
hobiku sendiri. Memang sangat tidak pantas bagiku, kalau ada orang yang tidak
tahu seni. Apalagi tidak suka.
“Ko, kenapa nilaimu jadi tambah turun ?”,
ibuku bertanya melihat buku tugasku.
“Apaan
sih”, jawabku tak menoleh. Masih bermain gitar.
“Ini
nilaimu kenapa turun ?”, ibu bertanya lagi.
“Susah,
Bu”, masih bermain gitar.
Ibu
beranjak. Tumben hari ini tidak menegurku. AHA !!!. Berarti ada pintu bagiku
untuk bermusik di rumah. Aku tersenyum riang.
Adikku
yang baru berumur enam tahun, duduk di sebelahku. Menarik-narik lengan baju.
“Nyanyi, dong”. Sambil mengerjapkan matanya. Lucu sekali. Rambut ikal yang
bergelombang bergerak-gerak mengikuti irama kepalanya. Tangannya bertepuk
tangan meriah. Bernyanyi dengan suara pas-pasan.
Aku
melirik ibu yang sedang merajut jaket merah di depan. Wajahnya separuh
terlihat. Begitu juga dengan senyumnya. Ibu tersenyum. Ya, ibuku tersenyum sore
itu.
Hingga
tiga jam aku bermain gitar. Dari pindah ke teras, kamar, teras, kamar, teras. Adikku sudah tidak lagi turut, dia harus
belajar. Dan aku harus bermain gitar. Toh, ibuku sudah memberi lampu hijau
padaku. Aku memang tak pernah bosan dalam bermain musik.
Ibuku
sudah kembali ke dapur. Memasak sayur sop untuk makan malam. Bersenandung
kecil. Mengaduk aduk kuah dengan bumbu-bumbunya. Harumnya benar-benar nikmat.
Aku tersenyum. Kembali bermain.
Sekarang
aku di teras. Memandang langit-langit sore yang menggantung indah, sambil
bermain gitar. Kulihat lipatan kertas kecil di sebelah rajutan ibu. Dengan
santai kubuka kertas kecil itu.
Seketika
aku tertegun. Membacanya lamat-lamat.
“Ayah,
kalau ayah masih ada, ayah akan lihat. Betapa senangnya aku ketika tahu, ibu
juga senang dengan musik, Yah. Terbukti, kan ? Ibu juga suka musik”, mengingat
ayahku yang mati dihajar warga kampung sebelah, karena mencuri. Haha. Hina
sekali hidupnya. Hidup di keluarga miskin, dan mati dalam keadaan miskin.
Tinggal satu hal lagi yang belum kubuktikan pada ayahku. Tersenyum bangga.
Malam
itu. Kuhabiskan dengan gitar. Ibuku makan bersama adikku. Tadi memanggil, tapi
kubiarkan. Nanti aku akan makan sendiri. Aku bukan anak kecil lagi. Lagipula, aku
masih ingin hanyut dalam kesenangan ini. Sampai beberapa minggu ke depan, aku
baru tahu kalau kesenangan ini tidak seberapa hebatnya.
“Sudah
malam, Nak. Tidurlah”, ibuku menegur lembut dari luar pintu kamar.
Saat
itu juga aku mengepal tanganku. Berkata dalam hati, “AKU BUKAN LAGI ANAK KECIL”
TUK...
Seperti
biasa, aku duduk di tempat tongkrongan. Anak SMA, yaa nongkrong adalah hal yang
biasa. Main gitar. Nyanyi bersama teman-teman. Teriak teriak. Tertawa karena
salah lirik lagu.
“Ko,
bikin band yo”, Jarwo menepuk pundakku.
“Hahaaay,
ayodah. Siape aje ? Gue mah siap !”, jawabku semangat.
“Gue
drummer. Lu gitar. Ayu vokal. Dayat bass. Sama Rey keyboard. Hahaa, oke gak tuh
?”, Jarwo menjelaskan.
Aku
mengangguk senang. Aku punya band. Impian !!! “Besok kita mulai berkarya”.
Impian memang, tapi sayangnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku
berikutnya.
Kami
sudah berkumpul di rumah Rey. Rumahnya besar sekali. Di dalamnya ada kolam
renang dan studio bandnya. Rey memang dipandang kaya raya oleh teman-teman.
Ayahnya bekerja di pertambangan dan ibunya seorang karyawan di perusahaan
besar. Makanya tidak kaget, kalau anaknya keren sekali. Idaman para gadis di
sekolah. Teman-teman band indie-nya sangat banyak. Dan dia berencana akan
memperkenalkan band kami pada mereka.
Kami
membuat lirik. Mencari nada yang tepat. Dan latihan. Lagu kami, ber genre metal
core. Dimana genre ini sedang nge-trend di kalangan remaja. Ayu bernyanyi
dengan penuh tenaga. Scream. Itu suaranya. Begitu juga dengan yang lain dalam
memainkan alatnya masing-masing. Seperti orang kegilaan.
“Besok
kita latihan lagi”, Jarwo tersenyum puas. Semua mengangguk.
“Entar,
kalo udah keren, kita konser perdana kecil-kecilan sama temen-temen gue yang
laen. Kebetulan tiga minggu lagi, band temen gue mau launching album barunya”,
Rey memberikan informasi.
“YEAH
!!! KONSER” ... Serentak kami berteriak.
Setiap
hari aku latihan. Jujur saja, aku berdebar-debar. Aku tidak pernah tahu rasanya
naik di atas panggung. Pasti akan sangat menyenangkan.
Tiga
lagu.
Band
kami akan menyanyikan tiga lagu untuk konser minggu depan. Luar biasa. Senang
dalam dadaku benar-benar tidak terkira. Malah kadang-kadang saking senangnya,
aku sampai bermimpi jadi band terkenal. Melanglang buana hingga internasional.
Konser bersama band-band papan atas dunia. Dikelilingi para fans yang berebut
tanda tangan. Benar-benar senang yang tiada tara.
H-3
Hari
terakhir latihan. Hasilnya pun semakin hebat. Tidak ada yang miss lagi. Tidak
ada yang salah dalam bermain. Luar biasa.
H-2
Hari
ini kami memutuskan untuk membicarakan baju untuk konser lusa. Akhirnya, kami memutuskan
memakai baju hitam, jeans hitam, kacamata hitam, dan sepatu sekolah biasa.
Setelah bercengkerama, kami pulang. Besok libur. Lusa konser.
H-1
Hari
ini cuaca panas sekali. Membuatku tidak berhenti menyumpah-nyumpah pada langit.
Mengeluh. Menyibak peluh.
Sepulangnya
dari tempat tongkrongan, aku segera membanting tubuhku di kasur. Menyalakan
kipas angin yang sudah tiga bulan tidak dibersihkan. Ada anginnya ? Sedikit.
“Besok
gue konser. Hehee, pasti keren dah gue”, kataku ngomong sendiri.
“Konser
itu apa, Kak ?”, tanya adikku mengagetkan.
“Konser
ituu, tampil di panggung. Besok kakak main musik di panggung”, jawabku riang.
Bangga.
“Wiihh.
Ibuuu, besok Kak Rieko konseerr”, kata adikku riang berlari ke arah ibu. Aku
tercekat. Tidak. Jangan. Jangan.
Hanya
beberapa menit.
“Jangan
datang, Nak”, ibu berbicara tanpa menoleh. Merajut jaket merah yang dijanjikan
untukku.
“Kenapa,
Bu ?. Itu impian Rieko. Bukannya orang tua harus mendukung impian anaknya ?”,
aku berargumen.
“Ibu
takut kamu terbawa anak-anak itu”, kata ibu sambil terus merajut. Konsentrasi.
“Anak-anak
apa ??. Anak-anak band itu ??. Mereka anak-anak yang baik, Bu”, kataku ngotot.
Pitamku semakin naik.
“Tidak,
Nak. Kamu tidak tahu. Mereka....”, ibu menoleh.
“Sudahlah,
Bu. Ibu tidak tahu apa-apa tentang mereka. Rieko sudah kenal sebagian dari
mereka. Mereka baik, perhatian, mereka...mereka...selalu mendukung impian
Rieko”, kataku semakin ngotot.
“Ibu
bersumpah, Nak. Impianmu akan terwujud. Tapi tidak dengan anak-anak itu. Mereka
pe....”
“CUKUP,
BU !!! Aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku sudah bisa membedakan baik dan
buruk. Saya sudah bisa, Bu”, jawabku keras.
Ibu
mencicit. Menggigit bibir. Menunduk. Adikku melangkah mendekat pada ibu.
Memeluk erat kakinya. Memegang hasil rajutan ibu. Lembut. Lantas kini memeluk
rajutan itu. Memeluknya dengan erat.
Hari
H
Langit
sepertinya akan hujan.
Sekarang,
aku sudah di panggung kecil. Tinggal lagu terakhir. Suasana ramai sekali.
Teriakan-teriakan meriah terdengar. Konser ini terbuka untuk umum.
SUKSES.
Tiga lagu sudah, hatiku benar-benar bahagia.
“Coy,
kemari dah”, Petra, salah satu teman Rey memanggilku.
“Kenapa,
Bang ?”, tanyaku berusaha gaul.
“Lu
tampil keren tadi. Ni hadiah buat lu”, katanya menyuguhkan minuman soda.
“Gratis kok”. Lantas meninggalkanku.
“Thanks,
Bang”, kataku beranjak duduk.
Ada
orang yang memujiku. Berarti sedikit lagi aku akan terkenal. Begitu pikirku.
Aku melihat sekitar. Orang-orang yang sedang moshing menonton konser. Mereka
berteriak kencang-kencang.
Masih
melihat sekitar dengan tangan menggenggam minuman soda dari Petra. Masih
melihat sekitar. Memperhatikan.
Di
pojok kulihat beberapa orang sedang tertawa liar. Menyenangkan sekali.
“Koo,
kemariii”, panggil Rey dari sana. Melambai tangan. “Gua mau kenalin lu sama
temen-temen gue nih”, lanjutnya.
Mendengar
hal itu, aku senang sekali. Melangkah mantap.
Namun
aku tercekat. Berhenti. Ibuku kini menahan pundakku. Menarik lenganku. Lantas
memaksa tubuhku untuk berputar. Aku diam. Menatapnya nanar. Marah.
“Kak,
pulang yuk. Lina takut”, kata adikku memeluk kakiku. Sekejap suaranya membuatku
bergetar. Tidak. Tidak. Sedikit lagi aku akan terkenal. Kalian pulangnlah.
Kumohon.
“Pulanglah,
Bu. Aku sudah besar”, kataku ketus. Tidak peduli pada Lina.
Ibu
diam. Tidak bergeming.
“Aku
sudah sampai pada impianku, Bu. Aku sudah dewasa. Aku sudah bisa memilih
jalanku sendiri”
“Pulang
yuk, Kak. Lina takuut”, Lina menggerakkan kakiku lebih kuat.
Semakin
bergetar.
“Pulanglah,
Bu. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa. Sudah aku katakan, Bu. Rieko sudah....”,
kubiarkan ibu mengisi kata terakhir.
Ibu
masih diam. Memegang pergelanganku erat. Menatapku lamat-lamat.
Cukup,
Bu. Cukup.
Kami
di tengah-tengah keramaian, saling diam. Teriakan-teriakan dan tawa liar
menggema hingga langit-langit bumi. Beberapa dari mereka terseok-seok menyeret
kaki sambil membawa sebotol minuman yang persis ada di tanganku. Dirangkul
temannya yang kondisinya sama saja.
Lina
mencengkeram kakiku lebih kuat. Aku menggeser kakiku. Bermaksud melepaskan.
Tapi genggamannya justru lebih kuat. Kuayunkan botol minumanku ke arah
tangannya.
“PRANK”,
Lina yang tahu tangannya akan terluka, mengibas tanganku. Melepas botol dalam
genggamanku. Semua menoleh pada kami. Namun konser tetap berlangsung. Hanya
sekejap, lantas kembali pada kesibukan masing-masing. Kembali pada dunia
mereka, yang sekarang belum aku sadari.
Lina
tidak menangis. Dia hanya menatapku. Terlihat seperti tatapan prihatin. Kini
berbalik menatap ibu. Memeluk kakinya.
Saat
itulah, ketika teriakan-teriakan itu semakin keras. Ketika musik di panggung
semakin keras. Ketika malam semakin matang. Ketika rembulan sempurna dibalut
awan hitam.
“Tapi
kau masih anakku, Sayang”. Tepat saat hujan turun, aku berkata dalam hati. “Dan
kau tetaplah ibuku, Ibu”
..............
“Kak,
hari ini mendung banget. Ayo berangkat, katanya mau rekaman”, Lina menepuk
tumpukan tanah di depannya. Mengusap batu di atasnya. Menoleh ke arahku. Aku
diam. Dia sudah dewasa sekarang. Wajahnya sempurna mirip dengan ibu,
kata-katanya, sampai gaya jilbab yang dikenakannya. Dia sudah menjadi gadis
yang cantik.
Aku
berpikir mendalam. Mencerna cerita-cerita kematian ayah. Dan baru beberapa hari
yang lalu, aku tahu dari desas-desus angin. Ayahku tidak mati dihajar warga.
Tapi karena pergaulan. Pergaulan yang tidak wajar, membuatnya mati melahap
narkoba. Menambah kesan burukku pada ayah. Aku bersyukur, aku tidak seperti ayahku.
Sekarang,
sumpah ibu telah terbukti. Aku sendiri, lebih tepatnya ditemani Lina dengan
dukungan penuhnya, aku bisa rekaman solo. Merekam beberapa lagu ciptaanku di
studio kecil. Sering aku diundang untuk mengisi acara di beberapa tempat yang
jauh lebih baik daripada konser panggung murahan waktu itu. Masuk beberapa
acara teve. Mengiringi pembacaan puisi. Tampil sebagai bintang tamu di acara
talkshow.
Aku
mengangguk. Mengibas rambut panjangku. “Iya, Lin”, tersenyum kecil.
Kami
beranjak pergi. Meninggalkan tumpukan tanah dengan batu berukir nama ibuku.
“Terima
kasih, Ibu. Aku tidak tahu ada dimana sekarang, kalau kau tidak menyelamatkanku
malam itu. Terima kasih, Ibu”, gumamku sembari melihat Lina yang sedang
membenahi jilbab birunya yang diterpa angin.
Jadilah
gadis yang baik, Lina.
0 komentar:
Posting Komentar