Welcome To my Blog . Enjoy Your reading

Senin, 24 Juni 2013

SENI ITU, HATI


Aku Rieko. Hidup di perkampungan kecil di sudut kota. Kalian tahu ? Hari-hariku diisi dengan bermusik di tempat tongkrongan. Pamer kebolehan dalam bermusik. Di sekolah pun, kalau kalian mau tahu, aku terkenal karena kemahiran gitarku dalam segala aliran musik.
Tapi kalau di rumah, aku merasa dicekam. Bermain musik bagi keluargaku adalah sebuah pantangan. Apa salahnya padahal ?. Ibuku selalu bilang masalah “melenakan”, “melalaikan”, atau apalah sejenisnya. Timbulnya, aku jadi selalu malas di rumah. Jelas-jelas hobiku bermusik, tapi di rumah aku tak bisa kembangkan hobiku sendiri. Memang sangat tidak pantas bagiku, kalau ada orang yang tidak tahu seni. Apalagi tidak suka.
 “Ko, kenapa nilaimu jadi tambah turun ?”, ibuku bertanya melihat buku tugasku.
“Apaan sih”, jawabku tak menoleh. Masih bermain gitar.
“Ini nilaimu kenapa turun ?”, ibu bertanya lagi.
“Susah, Bu”, masih bermain gitar.
Ibu beranjak. Tumben hari ini tidak menegurku. AHA !!!. Berarti ada pintu bagiku untuk bermusik di rumah. Aku tersenyum riang.
Adikku yang baru berumur enam tahun, duduk di sebelahku. Menarik-narik lengan baju. “Nyanyi, dong”. Sambil mengerjapkan matanya. Lucu sekali. Rambut ikal yang bergelombang bergerak-gerak mengikuti irama kepalanya. Tangannya bertepuk tangan meriah. Bernyanyi dengan suara pas-pasan.
Aku melirik ibu yang sedang merajut jaket merah di depan. Wajahnya separuh terlihat. Begitu juga dengan senyumnya. Ibu tersenyum. Ya, ibuku tersenyum sore itu.
Hingga tiga jam aku bermain gitar. Dari pindah ke teras, kamar, teras, kamar, teras.  Adikku sudah tidak lagi turut, dia harus belajar. Dan aku harus bermain gitar. Toh, ibuku sudah memberi lampu hijau padaku. Aku memang tak pernah bosan dalam bermain musik.
Ibuku sudah kembali ke dapur. Memasak sayur sop untuk makan malam. Bersenandung kecil. Mengaduk aduk kuah dengan bumbu-bumbunya. Harumnya benar-benar nikmat. Aku tersenyum. Kembali bermain.
Sekarang aku di teras. Memandang langit-langit sore yang menggantung indah, sambil bermain gitar. Kulihat lipatan kertas kecil di sebelah rajutan ibu. Dengan santai kubuka kertas kecil itu.
Seketika aku tertegun. Membacanya lamat-lamat.
“Ayah, kalau ayah masih ada, ayah akan lihat. Betapa senangnya aku ketika tahu, ibu juga senang dengan musik, Yah. Terbukti, kan ? Ibu juga suka musik”, mengingat ayahku yang mati dihajar warga kampung sebelah, karena mencuri. Haha. Hina sekali hidupnya. Hidup di keluarga miskin, dan mati dalam keadaan miskin. Tinggal satu hal lagi yang belum kubuktikan pada ayahku. Tersenyum bangga.
Malam itu. Kuhabiskan dengan gitar. Ibuku makan bersama adikku. Tadi memanggil, tapi kubiarkan. Nanti aku akan makan sendiri. Aku bukan anak kecil lagi. Lagipula, aku masih ingin hanyut dalam kesenangan ini. Sampai beberapa minggu ke depan, aku baru tahu kalau kesenangan ini tidak seberapa hebatnya.
“Sudah malam, Nak. Tidurlah”, ibuku menegur lembut dari luar pintu kamar.
Saat itu juga aku mengepal tanganku. Berkata dalam hati, “AKU BUKAN LAGI ANAK KECIL”
TUK...
Seperti biasa, aku duduk di tempat tongkrongan. Anak SMA, yaa nongkrong adalah hal yang biasa. Main gitar. Nyanyi bersama teman-teman. Teriak teriak. Tertawa karena salah lirik lagu.
“Ko, bikin band yo”, Jarwo menepuk pundakku.
“Hahaaay, ayodah. Siape aje ? Gue mah siap !”, jawabku semangat.
“Gue drummer. Lu gitar. Ayu vokal. Dayat bass. Sama Rey keyboard. Hahaa, oke gak tuh ?”, Jarwo menjelaskan.
Aku mengangguk senang. Aku punya band. Impian !!! “Besok kita mulai berkarya”. Impian memang, tapi sayangnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku berikutnya.
Kami sudah berkumpul di rumah Rey. Rumahnya besar sekali. Di dalamnya ada kolam renang dan studio bandnya. Rey memang dipandang kaya raya oleh teman-teman. Ayahnya bekerja di pertambangan dan ibunya seorang karyawan di perusahaan besar. Makanya tidak kaget, kalau anaknya keren sekali. Idaman para gadis di sekolah. Teman-teman band indie-nya sangat banyak. Dan dia berencana akan memperkenalkan band kami pada mereka.
Kami membuat lirik. Mencari nada yang tepat. Dan latihan. Lagu kami, ber genre metal core. Dimana genre ini sedang nge-trend di kalangan remaja. Ayu bernyanyi dengan penuh tenaga. Scream. Itu suaranya. Begitu juga dengan yang lain dalam memainkan alatnya masing-masing. Seperti orang kegilaan.
“Besok kita latihan lagi”, Jarwo tersenyum puas. Semua mengangguk.
“Entar, kalo udah keren, kita konser perdana kecil-kecilan sama temen-temen gue yang laen. Kebetulan tiga minggu lagi, band temen gue mau launching album barunya”, Rey memberikan informasi.
“YEAH !!! KONSER” ... Serentak kami berteriak.
Setiap hari aku latihan. Jujur saja, aku berdebar-debar. Aku tidak pernah tahu rasanya naik di atas panggung. Pasti akan sangat menyenangkan.
Tiga lagu.
Band kami akan menyanyikan tiga lagu untuk konser minggu depan. Luar biasa. Senang dalam dadaku benar-benar tidak terkira. Malah kadang-kadang saking senangnya, aku sampai bermimpi jadi band terkenal. Melanglang buana hingga internasional. Konser bersama band-band papan atas dunia. Dikelilingi para fans yang berebut tanda tangan. Benar-benar senang yang tiada tara.
H-3
Hari terakhir latihan. Hasilnya pun semakin hebat. Tidak ada yang miss lagi. Tidak ada yang salah dalam bermain. Luar biasa.
H-2
Hari ini kami memutuskan untuk membicarakan baju untuk konser lusa. Akhirnya, kami memutuskan memakai baju hitam, jeans hitam, kacamata hitam, dan sepatu sekolah biasa. Setelah bercengkerama, kami pulang. Besok libur. Lusa konser.
H-1
Hari ini cuaca panas sekali. Membuatku tidak berhenti menyumpah-nyumpah pada langit. Mengeluh. Menyibak peluh.
Sepulangnya dari tempat tongkrongan, aku segera membanting tubuhku di kasur. Menyalakan kipas angin yang sudah tiga bulan tidak dibersihkan. Ada anginnya ? Sedikit.
“Besok gue konser. Hehee, pasti keren dah gue”, kataku ngomong sendiri.
“Konser itu apa, Kak ?”, tanya adikku mengagetkan.
“Konser ituu, tampil di panggung. Besok kakak main musik di panggung”, jawabku riang. Bangga.
“Wiihh. Ibuuu, besok Kak Rieko konseerr”, kata adikku riang berlari ke arah ibu. Aku tercekat. Tidak. Jangan. Jangan.
Hanya beberapa menit.
“Jangan datang, Nak”, ibu berbicara tanpa menoleh. Merajut jaket merah yang dijanjikan untukku.
“Kenapa, Bu ?. Itu impian Rieko. Bukannya orang tua harus mendukung impian anaknya ?”, aku berargumen.
“Ibu takut kamu terbawa anak-anak itu”, kata ibu sambil terus merajut. Konsentrasi.
“Anak-anak apa ??. Anak-anak band itu ??. Mereka anak-anak yang baik, Bu”, kataku ngotot. Pitamku semakin naik.
“Tidak, Nak. Kamu tidak tahu. Mereka....”, ibu menoleh.
“Sudahlah, Bu. Ibu tidak tahu apa-apa tentang mereka. Rieko sudah kenal sebagian dari mereka. Mereka baik, perhatian, mereka...mereka...selalu mendukung impian Rieko”, kataku semakin ngotot.
“Ibu bersumpah, Nak. Impianmu akan terwujud. Tapi tidak dengan anak-anak itu. Mereka pe....”
“CUKUP, BU !!! Aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku sudah bisa membedakan baik dan buruk. Saya sudah bisa, Bu”, jawabku keras.
Ibu mencicit. Menggigit bibir. Menunduk. Adikku melangkah mendekat pada ibu. Memeluk erat kakinya. Memegang hasil rajutan ibu. Lembut. Lantas kini memeluk rajutan itu. Memeluknya dengan erat.
Hari H
Langit sepertinya akan hujan.
Sekarang, aku sudah di panggung kecil. Tinggal lagu terakhir. Suasana ramai sekali. Teriakan-teriakan meriah terdengar. Konser ini terbuka untuk umum.
SUKSES. Tiga lagu sudah, hatiku benar-benar bahagia.
“Coy, kemari dah”, Petra, salah satu teman Rey memanggilku.
“Kenapa, Bang ?”, tanyaku berusaha gaul.
“Lu tampil keren tadi. Ni hadiah buat lu”, katanya menyuguhkan minuman soda. “Gratis kok”. Lantas meninggalkanku.
“Thanks, Bang”, kataku beranjak duduk.
Ada orang yang memujiku. Berarti sedikit lagi aku akan terkenal. Begitu pikirku. Aku melihat sekitar. Orang-orang yang sedang moshing menonton konser. Mereka berteriak kencang-kencang.
Masih melihat sekitar dengan tangan menggenggam minuman soda dari Petra. Masih melihat sekitar. Memperhatikan.
Di pojok kulihat beberapa orang sedang tertawa liar. Menyenangkan sekali.
“Koo, kemariii”, panggil Rey dari sana. Melambai tangan. “Gua mau kenalin lu sama temen-temen gue nih”, lanjutnya.
Mendengar hal itu, aku senang sekali. Melangkah mantap.
Namun aku tercekat. Berhenti. Ibuku kini menahan pundakku. Menarik lenganku. Lantas memaksa tubuhku untuk berputar. Aku diam. Menatapnya nanar. Marah.
“Kak, pulang yuk. Lina takut”, kata adikku memeluk kakiku. Sekejap suaranya membuatku bergetar. Tidak. Tidak. Sedikit lagi aku akan terkenal. Kalian pulangnlah. Kumohon.
“Pulanglah, Bu. Aku sudah besar”, kataku ketus. Tidak peduli pada Lina.
Ibu diam. Tidak bergeming.
“Aku sudah sampai pada impianku, Bu. Aku sudah dewasa. Aku sudah bisa memilih jalanku sendiri”
“Pulang yuk, Kak. Lina takuut”, Lina menggerakkan kakiku lebih kuat.
Semakin bergetar.
“Pulanglah, Bu. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa. Sudah aku katakan, Bu. Rieko sudah....”, kubiarkan ibu mengisi kata terakhir.
Ibu masih diam. Memegang pergelanganku erat. Menatapku lamat-lamat.
Cukup, Bu. Cukup.
Kami di tengah-tengah keramaian, saling diam. Teriakan-teriakan dan tawa liar menggema hingga langit-langit bumi. Beberapa dari mereka terseok-seok menyeret kaki sambil membawa sebotol minuman yang persis ada di tanganku. Dirangkul temannya yang kondisinya sama saja.
Lina mencengkeram kakiku lebih kuat. Aku menggeser kakiku. Bermaksud melepaskan. Tapi genggamannya justru lebih kuat. Kuayunkan botol minumanku ke arah tangannya.
“PRANK”, Lina yang tahu tangannya akan terluka, mengibas tanganku. Melepas botol dalam genggamanku. Semua menoleh pada kami. Namun konser tetap berlangsung. Hanya sekejap, lantas kembali pada kesibukan masing-masing. Kembali pada dunia mereka, yang sekarang belum aku sadari.
Lina tidak menangis. Dia hanya menatapku. Terlihat seperti tatapan prihatin. Kini berbalik menatap ibu. Memeluk kakinya.
Saat itulah, ketika teriakan-teriakan itu semakin keras. Ketika musik di panggung semakin keras. Ketika malam semakin matang. Ketika rembulan sempurna dibalut awan hitam.
“Tapi kau masih anakku, Sayang”. Tepat saat hujan turun, aku berkata dalam hati. “Dan kau tetaplah ibuku, Ibu”
..............
“Kak, hari ini mendung banget. Ayo berangkat, katanya mau rekaman”, Lina menepuk tumpukan tanah di depannya. Mengusap batu di atasnya. Menoleh ke arahku. Aku diam. Dia sudah dewasa sekarang. Wajahnya sempurna mirip dengan ibu, kata-katanya, sampai gaya jilbab yang dikenakannya. Dia sudah menjadi gadis yang cantik.
Aku berpikir mendalam. Mencerna cerita-cerita kematian ayah. Dan baru beberapa hari yang lalu, aku tahu dari desas-desus angin. Ayahku tidak mati dihajar warga. Tapi karena pergaulan. Pergaulan yang tidak wajar, membuatnya mati melahap narkoba. Menambah kesan burukku pada ayah. Aku bersyukur, aku tidak seperti ayahku.
Sekarang, sumpah ibu telah terbukti. Aku sendiri, lebih tepatnya ditemani Lina dengan dukungan penuhnya, aku bisa rekaman solo. Merekam beberapa lagu ciptaanku di studio kecil. Sering aku diundang untuk mengisi acara di beberapa tempat yang jauh lebih baik daripada konser panggung murahan waktu itu. Masuk beberapa acara teve. Mengiringi pembacaan puisi. Tampil sebagai bintang tamu di acara talkshow.
Aku mengangguk. Mengibas rambut panjangku. “Iya, Lin”, tersenyum kecil.
Kami beranjak pergi. Meninggalkan tumpukan tanah dengan batu berukir nama ibuku.
“Terima kasih, Ibu. Aku tidak tahu ada dimana sekarang, kalau kau tidak menyelamatkanku malam itu. Terima kasih, Ibu”, gumamku sembari melihat Lina yang sedang membenahi jilbab birunya yang diterpa angin.
Jadilah gadis yang baik, Lina.

Politik dan Kemiskinan di Indonesia

I
PENDAHULUAN



Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.

Salah satu masalah yang belum terselesaikan di negeri ini adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan yang menjerat masyarakat Indonesia tak ubahnya sebuah penyakit kronis yang sulit disembuhkan jika tidak segera ditangani.



II
PEMBAHASAN

Menurut saya bansos ala SBY harus diakhiri, karena terbukti tidak mengatasi problem kemiskinan. Bahkan berindikasi digunakan sebagai cara atau alasan untuk kepentingan pemenangan politik semata.

Sementara itu, usaha pemerintah dalam pengentasan kemiskinan masih belum maksimal. Hal ini bisa dilihat dari postur anggaran belanja pemerintah tahun 2011, di mana total belanja negara telah mencapai angka Rp1.320 triliun dengan rincian belanja untuk pemerintah pusat Rp908,3 triliun dan transfer daerah Rp412,5 trilun. Dari Rp908,3 triliun pemerintah pusat, Rp182,9 triliun atau sekira 20,14% dialokasikan untuk belanja pegawai, Rp142,8 triliun atau dengan kata lain sekira 15,73% dialokasikan hanya untuk belanja barang. Rp106,6 triliun atau sekira 11,74% dialokasikan untuk membayar bunga utang dan Rp195,3 triliun atau sekira 21,5% untuk menanggung subsidi BBM dan listrik.

Sementara itu, belanja modal yang berupa pembangunan infrastruktur hanya sebesar Rp140,9 triliun atau sekira 15,51% dan belanja bantuan sosial yang langsung menyentuh rakyat miskin hanya mengambil porsi sekira 9,01% atau setara dengan Rp81,8 triliun.

III
KESIMPULAN

kesimpulan yang dapat di ambil adalah :
  1. kemiskinan dapat terjadi karena rendahnya kualitas yang dimiliki manusia tersebut
  2. kemiskinan dapat membuat orang menjadi putus asa
  3. pemerintah selalu berusaha untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia
  4. kemiskinan dapat menimbulkan berbagai macam masalah
saran bagi para pembaca :
  • tingkatkanlah kualitas anda melalui sekolah ke jenjang yang lebih tinggi
  • berjuanglah dengan keras jangan sampai putus asa
  • bantulah sesamamu yang tidak mampu
Sumber :